When an emotion has found its thought, and the thought has found words.

October 02, 2018

Red (or Read?)

“Ssssst, jangan bilang siapa-siapa. Ini rahasia di antara kita.”

Bulu tengkukku seketika berdiri mendengar kalimat dingin itu. Cepat-cepat ku masukkan sebuah benda ke saku celanaku, lalu berlari menuju sebuah bangunan yang tampak sepi dari luar.

“Pak! Pak!” Aku menggedor-gedor gerbang sekolah.

“Astaga!” Seorang satpam memekik begitu melihatku. Mereka yang sedang melaksanakan upacara bendera, sontak menoleh ke arahku.

“Dia berdarah.” Bisik-bisik mulai terdengar, membuat perutku mendadak mual.

“Tolong aku.” Aku berkata dengan lirih. Darah sudah memenuhi telapak tangan kiriku.

Pak satpam lantas mengangkat tubuhku ke atas tandu, sementara beberapa guru dan petugas PMR bersiap membawaku ke UKS. Aku tertidur selama hampir tiga jam. Begitu aku bangun, sebelah tanganku telah dililit oleh kain perban.

Waktu istirahat rupanya sedang berlangsung, membuat perjalananku menuju kelas terasa canggung. Mereka memperhatikanku. Dengan mimik mengiba namun sarat keingintahuan, pandangan mereka tertuju pada tanganku yang diperban.

“Ali, apa yang terjadi?” Teman-teman sekelas membidikku dengan satu pertanyaan itu. Mereka mengerubungi mejaku layaknya bertemu seorang selebriti.

“Seseorang menodongku di jalan. Dia menginginkan ponsel dan uangku.” Dengan senang hati aku menjawab rasa keingintahuan mereka.

“Apa kau menyerahkannya?”

“Tentu saja tidak.”

“Dia lalu menusuk telapak tanganmu?”

“Ya.” Aku membuka perban, menunjukkan hasil jahitan dokter yang tampak indah, di telapak tangan kiriku. “Dengan pisau lipat.” tambahku, berhasil membuat mereka bergidik ngeri.

***

“Pagi tadi kau tidak meminum obatmu, kan?” Mama mencecar begitu mendapatiku pulang dengan tangan diperban.

Aku menggeleng, merogoh pisau lipat di saku celanaku, lalu menunjukkannya ke mama.

“Lihatlah, pa! Anakmu benar-benar sinting!”

Papa hanya tersenyum mendengar ucapan histeris mama.

Begitu pun diriku.

No comments: