“Ssssst, jangan bilang siapa-siapa. Ini rahasia di antara
kita.”
Bulu tengkukku seketika berdiri mendengar kalimat dingin
itu. Cepat-cepat ku masukkan sebuah benda ke saku celanaku, lalu berlari menuju
sebuah bangunan yang tampak sepi dari luar.
“Pak! Pak!” Aku menggedor-gedor gerbang sekolah.
“Astaga!” Seorang satpam memekik begitu melihatku.
Mereka yang sedang melaksanakan upacara bendera, sontak menoleh ke arahku.
“Dia berdarah.” Bisik-bisik mulai terdengar, membuat
perutku mendadak mual.
“Tolong aku.” Aku berkata dengan lirih. Darah sudah memenuhi telapak
tangan kiriku.
Pak satpam lantas mengangkat tubuhku ke atas tandu,
sementara beberapa guru dan petugas PMR bersiap membawaku ke UKS. Aku tertidur selama hampir tiga
jam. Begitu aku bangun, sebelah tanganku telah dililit oleh kain
perban.
Waktu istirahat rupanya sedang berlangsung, membuat perjalananku
menuju kelas terasa canggung. Mereka memperhatikanku. Dengan mimik mengiba namun sarat keingintahuan, pandangan mereka tertuju pada tanganku
yang diperban.
“Ali, apa yang terjadi?” Teman-teman sekelas membidikku
dengan satu pertanyaan itu. Mereka mengerubungi mejaku layaknya bertemu seorang selebriti.
“Seseorang menodongku di jalan. Dia menginginkan ponsel dan uangku.”
Dengan senang hati aku menjawab rasa keingintahuan mereka.
“Apa kau menyerahkannya?”
“Tentu saja tidak.”
“Dia lalu menusuk telapak tanganmu?”
“Ya.” Aku membuka perban, menunjukkan hasil jahitan dokter yang tampak indah, di telapak tangan kiriku. “Dengan pisau lipat.” tambahku, berhasil membuat
mereka bergidik ngeri.
***
“Pagi tadi kau tidak meminum obatmu, kan?” Mama mencecar begitu mendapatiku pulang dengan tangan diperban.
Aku menggeleng, merogoh pisau lipat di saku celanaku,
lalu menunjukkannya ke mama.
“Lihatlah, pa! Anakmu benar-benar sinting!”
Papa hanya tersenyum mendengar ucapan histeris mama.
Begitu pun diriku.
No comments: