When an emotion has found its thought, and the thought has found words.

October 01, 2018

Elton


“Dia harus menemukan pintu itu.”

“Tidak, biar aku saja. Misi ini terlalu berbahaya untuknya.” Elton melirik seorang pemuda yang tengah menendang-nendang tengkorak kepala manusia, di tanah lapang nan gersang bersama teman-temannya.

“Ayolah. Kau tidak akan selamanya membiarkan dia hanya bermain-main di kamp persembunyian, sementara yang lain sudah menemukan lusinan Veltos, bukan?” sambung Zen, tak menyerah. 

“Tidak untuk saat ini, Zen. Scandic masih perlu banyak berlatih.” 

Menemukan pintu bukanlah perkara mudah. Di Wifera, pintu adalah Veltos – manusia terpilih untuk menyimpan kekuatan sihir yang diwariskan oleh Pinamar – raja agung yang takhtanya kini diturunkan kepada putra sulungnya – Aragon. 

Setiap Veltos menyimpan sihir yang berbeda, dan bersegel tentunya. Segel –  jenis sihir yang berfungsi untuk mengunci emosi Veltos agar tidak menyalahgunakan kekuatannya. Baru-baru ini, Aragon menetapkan sebuah peraturan:

"Setiap penduduk Wifera harus disegel atau mati."

Elton yang merupakan pemimpin Venao – kelompok penentang Aragon – jelas tidak akan membiarkan titah gila itu dilaksanakan. Apa jadinya jika manusia hidup tanpa emosi?

“Kau harus berhasil, bung. Atau mimpi buruk Wifera akan semakin panjang.” Zen menepuk kedua pundak Elton yang segera dibalas oleh Elton dengan anggukan mantap. 

Elton pun pergi menembus kegelapan malam Wifera. Aku harus menemukan pintu itu dan melenyapkannya. Selang beberapa hari, berkat sihir lacak yang telah dikuasainya, Elton berhasil menemukan Veltos sang pemegang segel. Veltos itu ternyata seorang perempuan dan bernama Rondinara. Tunggu – Rondinara?

Tidak. Ini tidak mungkin. 

Dia adalah Rondinara-ku! Seorang yang sangat aku cintai! Scandic akan membenciku jika aku membunuhnya.

Elton merasa sedih dan bimbang. Permasalahannya sekarang adalah, haruskah ia mengunci emosinya sendiri dan melenyapkan pintu itu? Jika ‘ya’, lalu apa bedanya Elton dengan Aragon?

No comments: